![]() |
Sumber gambar: AI |
Penolakan
terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah
menimbulkan perdebatan multidimensi di tingkat akademis, politik, dan masyarakat
sipil. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis akar permasalahan penolakan
tersebut, implikasi konstitusional, serta dampaknya terhadap reformasi sektor
keamanan di Indonesia. Dengan pendekatan kualitatif dan analisis dokumen,
penelitian ini menyimpulkan bahwa penolakan RUU TNI didasarkan pada
kekhawatiran terhadap potensi pelanggaran prinsip demokrasi, hak asasi manusia,
dan netralitas TNI dalam kehidupan bernegara. Rekomendasi kebijakan diajukan
untuk memastikan bahwa revisi RUU TNI dapat memenuhi aspirasi publik dan
prinsip good governance.
Reformasi
sektor keamanan (security sector reform) pasca-Reformasi 1998 telah menjadi
agenda krusial dalam memperkuat tata kelola demokrasi di Indonesia. Salah satu
isu sentral adalah posisi dan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam
sistem ketatanegaraan. Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) yang diajukan oleh
pemerintah menuai penolakan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis
hak asasi manusia, dan organisasi masyarakat sipil. Penolakan ini tidak hanya
bersifat politis, tetapi juga didasarkan pada argumen akademis dan
konstitusional yang mendalam, Namun semua itu sudah terlambat.
DPR RI resmi
menetapkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. Lewat sidang paripurna di
Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/3/2025), yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan
Maharani didampingi Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan
Saan Mustopa.
"Apakah
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi
undang-undang?" tanya Puan. "Setuju," jawab peserta rapat.
RUU TNI dinilai
berpotensi mengembalikan peran politik TNI yang telah dibatasi pasca-Reformasi
1998. Beberapa pasal dalam RUU dianggap membuka ruang bagi intervensi TNI dalam
urusan sipil, yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan demokrasi. Sebagaimana
ditegaskan oleh Diamond (1999), demokrasi yang sehat mensyaratkan pemisahan
yang jelas antara institusi militer dan politik. Pasal-pasal yang memberikan
kewenangan luas kepada TNI dalam penegakan hukum dan keamanan dalam negeri
dianggap berisiko memicu pelanggaran hak asasi manusia. Pengalaman masa lalu,
seperti kasus pelanggaran HAM di era Orde Baru, menjadi dasar kekhawatiran ini.
Menurut teori transitional justice, reformasi sektor keamanan harus memastikan
akuntabilitas dan transparansi untuk mencegah pengulangan sejarah kelam.
Perubahan yang
paling menjadi sorotan adalah perubahan Pasal 47 terkait jabatan TNI aktif di
kementerian/lembaga sipil. Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI lama, terdapat
pasal yang menyebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Namun, dalam UU
TNI baru, poin itu diubah sehingga TNI akfif dapat menjabat di 14
kementerian/lembaga. Kementerian/lembaga yang dimaksud adalah
kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan
keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional,
kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan
kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara.
Kemudian,
lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional,
pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme,
keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung. Sementara itu,
TNI aktif harus mundur atau pensiun jika mengisi jabatan di luar 14
kementerian/lembaga sipil tersebut.
Penolakan
terhadap RUU TNI bukan sekadar reaksi politis, tetapi mencerminkan keprihatinan
mendalam terhadap masa depan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Revisi yang komprehensif dan inklusif terhadap RUU TNI menjadi kebutuhan
mendesak untuk memastikan bahwa reformasi sektor keamanan berjalan sejalan
dengan prinsip good governance dan kepentingan publik.
- Konteks
Historis yang Problemastis:
- Dwifungsi
TNI era Orde Baru sebagai
alat represi politik.
- Reformasi
1998 yang berusaha memangkas peran politik TNI, namun tidak sepenuhnya
berhasil.
- Militerisasi
sipil yang
terus terjadi, misalnya melalui penempatan mantan perwira TNI di posisi
strategis pemerintahan.
2.
Agenda Tersembunyi di Balik Revisi:
o Ekspansi peran TNI dalam keamanan
dalam negeri sebagai bentuk "backdoor militarization".
o Politik balas budi antara elite
politik dan TNI pasca-Pemilu 2024.
o Ketidakjelasan batasan
operasi militer selain perang (OMSP), yang berpotensi disalahgunakan untuk
kepentingan politik.
3.
Kekhawatiran Ancaman Global:
o Tren global meningkatnya peran militer
dalam politik, seperti yang terjadi di Myanmar, Thailand, dan Mesir.
o Penurunan indeks demokrasi
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, yang diperparah oleh
intervensi militer.
Daftar Pustaka
- Diamond,
L. (1999). Developing Democracy: Toward Consolidation. Johns
Hopkins University Press.
- Cottey,
A., Edmunds, T., & Forster, A. (2002). Democratic Control of
the Military in Postcommunist Europe: Guarding the Guards. Palgrave
Macmillan.
- Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Dokumen
Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI).
Komentar
Posting Komentar