
Setidaknya lima vandal ditemukan dengan berbagai tulisan yang menggambarkan keresahan mahasiswa. Beberapa di antaranya berbunyi: “Uang kami nyata, laporan dana fiktif”, “KKL gratis? Hanya ilusi!!!”, “Mahasiswa kecewa, janji tinggal wacana”, “Kalau janji manis mah siapapun juga bisa, relasi yang susah!!”, dan “Mahasiswa terbungkam, janji transparansi dana nggak tahu ke mana!!”. Semua vandal ini juga disertai dengan tagar #fisipomonomon dan #janjimanis.
Hingga saat ini, belum diketahui siapa pihak yang bertanggung jawab atas pemasangan vandal tersebut. Namun, diyakini bahwa mereka yang terlibat adalah mahasiswa yang kecewa dengan hasil audiensi yang dilakukan sebelumnya dengan pihak fakultas.
Salah seorang mahasiswa Sosiologi, Heri Ardianto, menyatakan dukungannya terhadap pemasangan vandal tersebut. “Saya pro, karena ini bagian dari demokrasi dan kebebasan berekspresi. Wajar jika ada mahasiswa yang resah dan menyampaikan keresahannya lewat tulisan,” ujarnya.
Dani, Ketua DEMA FISIP, juga menanggapi aksi ini sebagai bentuk ekspresi kekecewaan mahasiswa terhadap birokrasi. “Pemasangan vandal ini adalah representasi dari kekecewaan mahasiswa terhadap ketidakjelasan pengalokasian anggaran KKL dan juga anggaran pelatihan bahasa ke Pare,” ungkapnya.
Tidak berselang lama, pihak fakultas segera menertibkan vandal-vandal tersebut. Pada siang harinya, seluruh vandal sudah dihapus oleh pihak kampus. Wakil Dekan III FISIP UIN Walisongo, Parmudi, menanggapi aksi ini dengan menyebut bahwa vandal merupakan bentuk ekspresi mahasiswa yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan dengan baik.
“Mahasiswa kecewa, mungkin karena tidak ikut audiensi, atau sudah ikut audiensi tetapi hasilnya tidak memuaskan, sehingga akhirnya mereka mengekspresikan kekecewaannya,” kata Parmudi.
Ia juga menjelaskan bahwa dana pelatihan bahasa ke Pare sebenarnya telah dialihkan ke dana Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dengan total Rp1,8 juta per mahasiswa sebelum adanya efisiensi. Namun, kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintahan Prabowo berdampak pada pemotongan anggaran KKL.
Terkait transparansi anggaran, Parmudi menegaskan bahwa biaya KKL tidak berasal dari fakultas, melainkan hasil kesepakatan dengan pihak Event Organizer (EO). Mengenai transparansi dana EO, ia menjelaskan bahwa EO memiliki hak untuk tidak membuka detail pengelolaan anggarannya karena itu merupakan bagian dari kebijakan internal mereka.
Pemasangan vandal ini menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa masih merasa kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana di FISIP UIN Walisongo. Kritik utama yang disampaikan adalah kekecewaan terhadap birokrasi kampus yang dinilai tidak terbuka dalam pengelolaan anggaran, terutama terkait KKL dan pelatihan bahasa ke Pare.
Penulis: Zaenal Arifin
Redaktur: Tegar Budi Hartadi
Komentar
Posting Komentar